Pekanbaru, Lintasmelayu.com - Sebagai
seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya tidak hanya belajar tentang teori
komunikasi dan media saja, tetapi juga berhadapan dengan pertanyaan
mendasar seperti "apa tujuan saya belajar semua ini? Apakah sekadar mengejar
gelar sarjana? Atau ada sesuatu yang lebih besar dan lebih luhur dari itu?"
Dalam
Islam, menuntut ilmu bukan sekadar aktivitas duniawi, tetapi merupakan kewajiban
spiritual. Ia adalah ibadah, jalan jihad, dan investasi akhirat. Sejak turunnya
wahyu pertama, Allah SWT telah menegaskan urgensi ilmu:
"Iqra’
bismi rabbika alladzi khalaq. Khalaqal insaana min ‘alaq. Iqra’ wa rabbukal
akram. Alladzi ‘allama bil qalam. ‘Allamal insaana maa lam ya’lam."
(QS. Al-‘Alaq: 1–5)
Ayat ini
bukan hanya menjadi titik awal kenabian Rasulullah SAW, tetapi juga menandai
bahwa peradaban Islam akan lahir dan berkembang melalui ilmu pengetahuan.
Bahkan, kata pertama dari seluruh Al-Qur’an adalah “Iqra’” — bacalah!
Sebuah ajakan untuk berpikir, menggali, merenung, dan belajar.
Islam
tidak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu dunia. Keduanya adalah bagian dari
manifestasi kasih sayang Allah kepada manusia. Karena itu pula, Rasulullah SAW
bersabda:
"Menuntut
ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim, laki-laki dan perempuan."
(HR. Ibnu Majah, No. 224)
Hadis ini
sangat progresif. Di tengah budaya masa lalu yang sering kali meminggirkan
perempuan dari ruang pendidikan, Islam justru menegaskan bahwa perempuan juga
memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu.
Ilmu dalam Perspektif Akhirat
Salah
satu ayat yang membuat saya merenung sebagai mahasiswa adalah:
"Katakanlah:
Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?"
(QS. Az-Zumar: 9)
Pertanyaan
retoris ini menyentil kesadaran kita, bahwa ilmu menjadikan manusia berbeda, bukan dalam hal status sosial, tetapi dalam hal kedekatan dengan Allah dan tanggung
jawab kepada sesama. Dalam ilmu ada kepekaan, dalam ilmu ada
pertanggungjawaban.
Bahkan
dalam hadis lain disebutkan:
"Barang
siapa keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga ia
kembali."
(HR. Tirmidzi)
Artinya,
kegiatan kita sebagai mahasiswa bahkan ketika kita begadang mengerjakan
tugas, membaca jurnal, atau menyimak dosen di kelas semua itu dicatat sebagai
bentuk jihad, selama niatnya benar.
Ilmuwan Islam: Teladan Sepanjang Masa
Islam
memiliki sejarah keilmuan yang luar biasa. Peradaban Islam pernah menjadi
mercusuar ilmu, jauh sebelum Eropa mengenal masa pencerahannya. Para ilmuwan
Islam tidak hanya menguasai banyak bidang, tetapi juga menjadikan ilmu sebagai
sarana mendekatkan diri kepada Allah.
1. Ibnu Khaldun (1332–1406)
Sebagai
mahasiswa Ilmu Komunikasi, saya sangat kagum pada Ibnu Khaldun. Ia adalah
pelopor ilmu sosiologi dan teori komunikasi massa, jauh sebelum teori-teori
Barat lahir. Dalam Muqaddimah, ia menjelaskan pentingnya interaksi
sosial, simbol, dan pengaruh kekuasaan dalam membentuk opini publik. Ia adalah
contoh bahwa ilmu sosial bukan ciptaan Barat, tetapi juga bagian dari khazanah
Islam.
2. Al-Ghazali (1058–1111)
Seorang
teolog, filsuf, dan sufi yang mendalam. Ia menulis Ihya Ulumuddin,
sebuah karya yang menggabungkan ilmu fikih, akhlak, dan tasawuf. Dalam konteks
komunikasi, ia menekankan pentingnya niat dalam berbicara, etika
dalam menyampaikan pesan, dan bahaya lisan. Ilmunya tidak hanya
rasional, tetapi juga menyentuh batin.
3. Al-Farabi (872–950)
Disebut
sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles. Ia membahas filsafat komunikasi,
politik, dan musik. Al-Farabi melihat bahwa negara ideal harus dipimpin oleh
orang berilmu. Ia juga percaya bahwa komunikasi adalah instrumen utama dalam
menyebarkan nilai-nilai kebenaran.
4. Fatimah Al-Fihri (abad ke-9)
Pendiri
Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko Universitas tertua di dunia. Ia
menunjukkan bahwa perempuan Muslim bukan hanya penikmat ilmu, tetapi juga
pencipta ruang keilmuan. Sebuah pelajaran penting bagi kita hari ini: bahwa
ilmu tidak mengenal batas gender.
5. Ibnu Sina (980–1037)
Ahli
kedokteran, filsafat, dan logika. Dalam karyanya Al-Qanun fi al-Tibb, ia
menyatukan ilmu medis dan nilai-nilai etika Islam. Ia juga menyadari bahwa
bahasa dan komunikasi adalah kunci dalam menyampaikan ilmu baik kepada pasien
maupun sesama ilmuwan.
Refleksi Pribadi sebagai Mahasiswa
Dalam
dunia yang penuh distraksi seperti sekarang, menuntut ilmu bisa terasa berat.
Kadang kita belajar hanya demi lulus ujian. Namun, ketika saya membaca
dalil-dalil dan kisah para ilmuwan Islam, saya merasa malu sekaligus
terinspirasi. Mereka belajar tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk umat.
Mereka menulis bukan untuk likes, tetapi untuk peradaban.
Menuntut
ilmu dalam Islam bukan hanya tentang mengetahui, tetapi juga tentang menjadi.
Menjadi insan yang bijak, kritis, dan beradab. Bagi saya, menjadi mahasiswa
Ilmu Komunikasi berarti juga belajar menjadi penghubung antara ilmu dan
masyarakat, antara pengetahuan dan nilai, antara kata-kata dan kebenaran.
Penutup
Dalil-dalil
dalam Al-Qur’an dan hadis telah jelas menunjukkan bahwa menuntut ilmu adalah
ibadah, kewajiban, dan jalan menuju kemuliaan. Para ilmuwan Islam sepanjang
sejarah telah membuktikan bahwa ilmu yang dilandasi iman bisa mengubah dunia.
Sebagai
mahasiswa, tugas saya bukan hanya menyerap ilmu, tetapi juga menghidupkan
semangat itu kembali, semangat bahwa ilmu bukan sekadar alat untuk sukses
pribadi, tetapi untuk membangun umat dan membawa rahmat bagi semesta.
Nama : Kalisa
Fazela
Nim : 230501048
Mata Kuliah : Al-Islam 4
Dosen Pengampu : M. Untung
Surapati,. M.I.Kom.
Posting Komentar